Senin, 26 Agustus 2013

Puasa Sehat Ala Rasulullah


Puasa (shaum) secara bahasa artinya menahan (imsak). Adapun menurut istilah syar’i artinya adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan intim, dan semua yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar yaitu fajar shadiq (mulai masuknya shalat subuh) hingga terbenam matahari, dengan niat ibadah kepada Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Keutamaan dan kemuliaan bulan ini serta ibadah yang dilakukan didalamnya, telah sering kita dengar dalam setiap pengajian, dan kita baca dalam berbagai buku dan kitab. Oleh karena itu, di sini kita tidak berpanjang lebar mengulas masalah ini.
Yang jelas, dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang puasa di bulan Ramadhan:
“Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu”.
Itulah salah satu keuntungan yang diperoleh oleh mereka yang berpuasa, bila didasari oleh keimanan dan mengharap pahala yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti itulah yang harus kita lakukan pada bulan Ramadhan, dan di hari-hari lainnya (puasa sunah).
Artinya, kita menjalankan puasa itu harus secara sadar dan yakin bahwa puasa adalah syariat yang diberlakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk kita, dan untuk umat sebelum kita. Sebagaimana dalam Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. al-Baqarah: 183)
Lebih istimewa lagi, ibadah yang satu ini adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Semua amalan anak Adam adalah untuk dirinya, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang memberinya balasan”  (HR. al-Bukhari 1894 dan Muslim 1151).
Sekilas Tentang Manfaat Puasa 
Yang paling penting kita yakini bahwasanya puasa (shaum) adalah ibadah. Bahkan, ibadah ini tidak hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atas umat ini (umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), tetapi juga umat-umat sebelumnya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Ta’ala di atas.
Setiap perintah yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasti baik dan bermanfaat, murni manfaat atau lebih besar manfaatnya. Inipun menurut penilaian kita manusia, sedangkan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasti semua itu adalah kebaikan, karena semua perbuatan Allah l adalah baik, tidak ada salah dan cacatnya. Semua perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sesuai dengan kesempurnaan Allah l, yang tidak ada cacat dan kekurangannya dari sisi manapun.
Akal kita terlalu dangkal untuk memahami hikmah dan rahasia dari perintah-perintah tersebut. Lagi pula, kita diciptakan dan diperintah bukan untuk mencari dan menggali rahasia atau hikmah perbuatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita hanya diperintah untuk tunduk, dan siap melaksanakan semua titah-Nya, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya.
Sehubungan dengan perintah puasa yang kita kerjakan, pasti banyak hikmah dan manfaat di dalamnya. Manfaat itu berpangkal pada ketakwaan, sebagai tujuan utama pelaksanaan ibadah puasa ini.
Apabila jiwa kita terhalang untuk mendapatkan yang halal demi mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan takut akan siksa-Nya, tentu terhadap hal-hal yang diharamkan akan lebih terhindar. Selain itu, puasa juga mendorong kita untuk menolak bujukan syaithan dan menundukkan syahwat serta memelihara anggota tubuh.
Orang yang berpuasa, ketika merasakan sakitnya lapar, dia akan menyadari keadaan kaum dhu’afa`, sehingga tumbuhlah kasih sayangnya dan mau berbagi walau sekadar mengurangi rasa lapar mereka.
Terkait dengan kesehatan, dari hasil penelitian sejumlah pakar kesehatan, muslim ataupun non muslim, semua mengakui bahwa puasa membawa sejumlah manfaat bagi kesehatan. Di antaranya ialah, puasa mengistirahatkan kerja alat pencernaan kita yang selama sebelas bulan hampir tidak pernah ‘beristirahat’ mengolah semua yang dimasukkan kedalamnya.
Terlebih lagi, bagi mereka yang suka ngemil; misalnya, saat dia sedang membaca, mulutnya bergerak, bukan mengeja huruf-huruf di atas kertas atau didepannya, melainkan mengunyah berbagai jenis makanan ringan, crispy, wafer, permen, dll.
Menurut mereka, dengan puasa (di bulan Ramadhan), jatah istirahat alat pencernaan ini mendapat tambahan sekitar 12-14 jam setiap hari, selama satu bulan. Dengan berpuasa, kontrol gula darah semakin aktif, sehingga sangat membantu mencegah risiko kencing manis (Diabetes Mellitius).
Berkurangnya asupan makan selama satu bulan –bila puasa dilakukan secara benar-, akan sangat membantu dalam menurunkan berat badan yang berlebih. Kadar kolesterol, trigliserida, dan lemak darah juga ikut menurun.
Itulah sebagian kecil manfaat duniawi (kesehatan) yang diperoleh dari berpuasa. Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan, bahwa semua itu akan diperoleh jika puasa dilakukan dengan cara yang benar. Artinya, sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sepanjang sejarah hidupnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan dalam segala hal. Begitu pula dalam berpuasa.
Selanjutnya, bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa?
Yang pertama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tuntunkan kepada kita adalah menetapkan niat di dalam hati untuk berpuasa, yaitu pada malam harinya.
Niat dalam berpuasa adalah sesuatu yang paling utama di balik meninggalkan makan dan minum serta hal-hal lain yang membatalkannya. Saat kita berniat puasa, dalam hati ada satu tekad untuk menjalankannya semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengharapkan balasan dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Benarnya niat, menandakan benarnya hati. Karena itu, keimanan yang tertanam kuat di hati akan menumbuhkan kesadaran yang tinggi dalam melaksanakan suatu aktivitas, terlebih yang bernilai ibadah.
Dengan kata lain, niat kita berpuasa semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan mengharapkan akan meraih manfaat duniawi yang ada. Mengapa? Karena hal-hal tersebut pasti menyertai sebuah ibadah yang kita jalankan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Siapa yang menanam padi, rumput pasti tumbuh. Akan tetapi, siapa yang menanam rumput, padi tidak mungkin tumbuh.
Itulah tamsil (perumpamaan) tentang orang yang berbuat demi mengharap pahala akhirat, dan orang yang bekerja demi meraih keuntungan dunia.
Tuntunan berikutnya adalah menunda makan sahur, walaupun boleh dilakukan tengah malam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu ada berkah.” (HR. al-Bukhari 1923 dan Muslim 1095).
Batas akhir waktu sahur adalah sebelum munculnya fajar shadiq (waktu subuh). Diakhirkannya sahur ini tidak lain adalah agar menguatkan orang yang berpuasa.
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, menguraikan sebagian arti berkah dalam sahur, di antaranya ialah memberi kekuatan pada orang yang berpuasa, menjauhkannya dari perilaku buruk yang didorong oleh rasa lapar, menambah semangat dan cekatan, serta membedakan diri dari ahli kitab, karena mereka berpuasa tanpa sahur.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah kurma.” (HR. Abu Dawud 2345 disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib 1/448).
Mengapa kurma? Karena kurma dikenal sebagai buah yang kaya dengan protein dan karbohidrat serta mengandung serat. Sebagian ahli menyebutkan bahwa dengan mengonsumsi makanan yang kaya serat dan proteinnya, proses pencernaan terjadi lebih lambat, sehingga tidak cepat lapar.
Bagaimana dengan kita? Yang sering terjadi adalah mengisi perut sepenuh-penuhnya agar tidak merasa lapar saat berpuasa di siang hari. Tentu saja hal ini menyalahi tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal makan, di samping jelas mengganggu kesehatan.
Segera berbuka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tak henti-hentinya manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.”   (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Anas radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan biasa berbuka dengan ruthab (kurma basah), sebelum shalat magrib. Kalau tidak ada, dengan tamr (kurma kering) atau dengan air. Sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (3/97) disahihkan oleh Syaikh al-Albani (al-Irwa` 922).
Para ahli menyebutkan keuntungan berbuka dengan kurma –asal tidak berlebihan-, diantaranya bahwa saat berpuasa, tubuh terasa lemah, dan malas beraktivitas terutama sesudah lewat ‘ashar. Menurut mereka, keadaan ini adalah akibat berkurangnya kadar gula dalam darah.
Adapun kurma, adalah makanan yang mengandung gula sederhana dan mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Hal ini membantu lambung untuk memulai tugasnya secara bertahap.
Begitu pula halnya air, ketika kurma tidak kita dapatkan. Yang jelas, menurut para ahli tersebut, lambung kita jangan dipaksa melakukan aktivitas yang berat, setelah seharian ‘tidak aktif’.
Setelah berbuka dengan beberapa butir kurma dan air, segeralah ke masjid untuk shalat magrib. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan langsung memenuhi perut dengan berbagai makanan yang terhidang.
Alangkah jauhnya kita dari tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat berbuka, kita justru sedapat mungkin menyantap semua hidangan yang ada di atas meja. Mulai dari kolak pisang, es dawet, kue-kue, roti, dsb. Akhirnya, shalat magrib pun terlambat, atau malas ke masjid.
Dari arti kata shaum secara bahasa, yaitu imsak (menahan), puasa tidak sekadar menahan lapar dan libido, tetapi juga pengendalian diri secara sempurna. Puasa melatih kita untuk kuat menahan emosi, khususnya marah.
Bahkan ketika ada orang yang mengganggu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar kita hanya mengatakan kepadanya, ”Sesungguhnya saya sedang berpuasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Pengendalian diri ini juga terwujud dalam tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, yaitu tidak berkata dusta dan keji:
“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan palsu dan melakukan kepalsuan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. al-Bukhari 1903).
Kemudian, sebagaimana yang telah diketahui bahwa Ramadhan adalah bulan ibadah. Sebab itu, aktivitas di siang hari walaupun berpuasa, tidak perlu ditinggalkan. Bahkan seharusnya, kita semakin rajin mendulang pahala di siang hari Ramadhan dengan melakukan berbagai aktivitas yang bermanfaat.
Perbanyaklah membaca al-Quran, siang dan malam, serta mendalami kandungan maknanya, atau berzikir, shalat sunat atau bersedekah.
Disunnahkan pula bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak, berdasarkan keumuman hadits tentang masalah ini. Siwak mendatangkan keridhaan Allah, dan membersihkan mulut orang yang berpuasa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat suka memberi, dan selama bulan Ramadhan jauh lebih dermawan dibandingkan angin yang bertiup.
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma menyebutkan:
“Adalah Rasulullah orang yang paling dermawan. Beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan, ketika Jibril menemui beliau setiap malam bulan Ramadhan, lalu mengajari beliau al-Quran. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar suka memberi, dibandingkan angin yang bertiup.” (HR. al-Bukhari (6) dan Muslim (2308)).
Jadi, puasa bukan untuk berhenti dari sejumlah aktivitas bermanfaat. Demikian pula di malam harinya untuk tadarus al-Quran, dan shalat tarawih serta i’tikaf di sepuluh terakhir Ramadhan.<
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang mendirikan (shalat malam) di bulan Ramadhan, karena iman dan mengharap pahala, tentu diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Itulah kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan. Siang hari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam beraktivitas sebagaimana biasa, dan di malam hari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak ibadah. Wallahu a’lam.
source

Tidak ada komentar:

Posting Komentar